INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN HIV-AIDS
INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN HIV-AIDS
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan sekelompok penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Hubungan seksual di sini bisa secara genitogenital(alat kelamin dengan alat kelamin), anogenital (anus dengan alat kelamin), maupun orogenital (mulut dengan alat kelamin).
Penyakit-penyakit yang termasuk IMS, yang dahulu sering juga disebut sebagai Penyakit Menular Seksual (PMS), antara lain sifilis (raja singa), gonore (kencing nanah), kondiloma akuminata(jengger ayam), herpes genitalis, ulkus mole(luka/borok di kemaluan), trikomoniasis dan beberapa penyakit lainnya. Infeksi HIV yang salah satu cara penularannya adalah lewat hubungan seksual bisa juga dimasukkan dalam IMS, meskipun seringkali dibahas secara tersendiri karena kekompleks-annya.
Komplikasi yang diakibatkan oleh infeksi menular seksual yang tidak tertangani dengan baik dapat bermacam-macam seperti kemandulan/infertilitas baik pada pria maupun wanita, akibat buruk pada bayi, kehamilan di luar kandungan, kanker anogenital, radang panggul maupun kematian.
Sebenarnya IMS ini sudah menjadi masalah di belahan bumi ini sejak beberapa abad yang lalu, tepatnya sekitar abad 15 saat di mana manusia mulai menjelajah ke seluruh dunia untuk mencari daerah kekuasaan baru (masa Columbus) dan meningkat kejadiannya dari tahun ke tahun. Pasca Perang Dunia II dengan kemajuan di bidang penemuan antibiotik yang maju pesat maka angka kejadiannya menurun sejalan dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan yang rasional.
Namun demikian, dengan meningkatnya angka resistensi(kekebalan) kuman terhadap berbagai jenis antibiotik akibat dari penggunaan yang tidak tepat (baik dosis maupun jenis obat) yang seringkali penderita mengobati dirinya sendiri (self medication) , membuat pengobatan menjadi kurang efektif, sehingga angka kejadian penyakitpun cenderung meningkat kembali. Era globalisasi juga memberikan dampak terhadap perubahan sosiokultural, gaya hidup yang lebih permisif dan pola berpikir mengenai seksualitas yang lebih bebas dan seringkali melebihi nilai-nilai agama maupun norma dan adat masyarakat pada umumnya. Hal ini akhirnya melahirkan perilaku-perilaku seksual yang beresiko tinggi, seperti seks bebas (multiple partner seksual), prostitusi, homoseksual termasuk waria, gay dan lesbian maupun biseksual.
Selain itu dengan meluasnya infeksi HIV di seluruh dunia termasuk Indonesia yang sekarang sudah menjadi ancaman global, maka penatalaksanaan dan pengobatan IMS di daerah dengan angka kejadian HIV yang tinggi menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan kekebalan tubuh penderita akibat infeksi HIV, sehingga pengobatan IMS yang ada menjadi kurang efektif .
Sejumlah penelitian yang mutakhir menunjukkan bahwa infeksi menular seksual merupakan kofaktor atau faktor yang memperberat infeksi HIV. Dari bukti biologis yang ada ditemukan bahwa IMS meningkatkan jumlah virus pada sekret/cairan vaginal dan jumlah virus yang memasuki tubuh menjadi lebih banyak karena adanya kerusakan sel epitel. Pada beberapa penelitian di Amerika Serikat dan Afrika, IMS jenis ulkus/borok genital meningkatkan resiko tertular HIV menjadi 4,7 kali lipat sedangkan sifilis 1,5-2,2 kali, herpes genital 4,4 kali, klamidia 3,2 kali, trikomonas 2,7 kali dan gonore/kencing nanah menjadi 3,5 kali.
Fenomena gunung es juga terjadi pada infeksi menular seksual. Sebagian besar kasus yang umumnya terbanyak terjadi pada wanita seringkali tidak menunjukkan gejala dan keluhan yang (asimtomatik). Hanya sebagian kecil kasus yang terdeteksi karena adanya keluhan atau gejala yang muncul dari pasien terutama pasien pria. Sehingga angka yang sebenarnya adalah menjadi lebih besar daripada yang tercatat. Dari data WHO HIV/AIDS/STI Initiative untuk tahun 1999 saja perkiraan kasus IMS baru di seluruh dunia mencapai angka 340 juta. Dengan adanya kenyataan di atas maka diperlukan upaya-upaya penanggulangan IMS di masyarakat yang lebih serius dan komprehensif.
Pengontrolan IMS yang baik akan dapat memutuskan rantai penularan penyakit ini di masyarakat sehingga angka kejadian penyakit akan berkurang, komplikasi dan kecacatan yang timbul bisa dicegah dan resiko tertular HIV menjadi lebih kecil.
Upaya ini dapat berupa penanganan IMS yang baik dan berkualitas di semua fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta, serta peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat umum untuk berperilaku seks yang sehat dan segera mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan yang tepat jika menderita IMS. Dengan penyebaran informasi yang jelas mengenai IMS disertai pemberian layanan konseling yang tepat, diharapkan dapat membantu masyarakat untuk merubah perilaku seks beresiko menjadi perilaku seks yang aman. Hal ini tentu saja bukan hal mudah, seperti membalik telapak tangan dan memerlukan waktu yang yang tidak pendek..
Usaha untuk mengontrol IMS ini bisa berjalan dengan efektif jika dilakukan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan dengan menekankan pada praktik seks aman(A=abstinence; tidak melakukan seks sebelum menikah, B=be faithful; setialah pada pasangan anda, C=Condom; gunakan kondom jika, anda tidak bisa melakukan A maupun B). Di sini penanaman nilai-nilai agama dan norma-norma kemasyarakat sejak dini amatlah penting.
2. Intervensi pada kelompok-kelompok masyarakat dengan perilaku resiko tinggi, seperti pekerja seks komersial maupun homoseksual serta pengguna narkoba suntik (Injection Drug User/IDU). Di sini fungsi pendampingan, dukungan dan pemberian informasi yang tepat sangatlah diperlukan, sehingga peran serta masyarakat khususnya LSM sangatlah penting.
3. Penatalaksanaan kasus IMS secara tepat dan efektif. Hal ini akan membantu mengurangi resistensi obat, meningkatkan kesembuhan sehingga biaya pengobatan yang dperlukan menjadi lebih murah serta mencegah komplikasi yang timbul.
4. Pengintegrasian layanan IMS di institusi pelayanan kesehatan masyarakat, seperti pelayanan kesehatan primer atau Puskesmas, sehingga masyarakat lebih mudah mendapat akses ke pelayanan IMS dengan biaya yang lebih ringan atau bahkan tanpa dipungut biaya (free service). Klinik IMS yang melayani kelompok khusus seperti penjaja seks beserta pelanggannya, pekerjan migran, pengemudi truk jarak jauh, dan kelompok lain yang sulit dijangkau pelayanan kesehatan perlu didirikan.
5. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran untuk mencari pengobatan, jika menderita IMS. Di sini peran penyebaran informasi tentang IMS dan tempat pelayanan IMS sangatlah penting.
6. Skrining kasus IMS dan program pencegahan spesifik. Pada daerah dengan komunitas resiko tinggi seperti lokalisasi, hal ini sangat diperlukan untuk menekan angka transmisi penyakit, karena pada komunitas seperti ini lingkar penularan penyakit sangatlah intensif dan kompleks.
Penggunaan protokol atau pedoman yang standar dalam pengobatan juga sangatlah dianjurkan untuk diterapkan di semua tingkat pelayanan kesehatan. Hal ini akan mempermudah pengawasan, pelatihan terhadap petugas serta evaluasi terhadap hasil pengontrolan IMS tersebut. Angka resistensi kuman penyebab IMS pun menjadi terhambat dengan pemakaian obat yang rasional.
Akhirnya diperlukan kerjasama dan kesadaran yang baik dari semua pihak, baik penyediaan layanan kesehatan maupun masyarakat dalam mengontrol masalah infeksi menular seksual ataupun HIV-AIDS, sehingga angka kejadian maupun penyebarannya menjadi lebih kecil.
Dr. Farid Setiawan
Koordinator Klinik IMS
Puskesmas Dinoyo, Malang